Stress Bag. 1

DEFINISI STRESS

Istilah stress dikemukakan oleh Hans Selye (dalam Prabowo, 1998) yang mendefinisikan stress sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Sedangkan menurut Lazarus (dalam Prabowo, 1998), stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Definisi lain dating dari Robert S. Feldman (dalam Fausiah. F dkk, 2007) stress adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku

Terdapat 3 fase dalam stress:

1.      Fase alarm

2.      Fase Resistensi, dan

3.       Fase Exhausted (kelelahan)

 

MODEL STRESS

Cox (dalam Prabowo, 1998) mengemukakan 3 model stress, yaitu:

1. Response-based model

Stres model ini mengacu sebagai kelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit. Pusat perhatian dari model ini adalah bagaimana stressor yang berasal dari peristiwa lingkungan yang berbeda-beda dapat menghasilkan respon stress yang sama

2. Stimulus-based model

Memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimulus stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli stress adalah:

a.       Overload: Ketika sebuah stimulus dating secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi

b.      Conflict: Terjadi ketika sebuah stimulus secara stimultan membangkitkandua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Cenderung bersifat ambigu, dalam artian stimulus tidak memperhitungkan kecenderungan respon yang wajar

c.       Unconrollability: Terjadi pada peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas/tidak tergantung pada perilaku diamana pada situasi ini menunjukan tingkat stress yang tinggi.

3. Interactional model

Model perpaduan dari kedua model sebelumnya. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kempuan mengatasi. Prabowo (1998)

Pendekatan ini beranggapan bahwa keseluruhan pengalaman stress didalam beberapa situasi akan tergantung pada keseimbangan antara stressor, tuntutan dan kemampuan mengatasi. Prabowo (1998)

 

Sumber:

  • Prabowo.H, (1998), Arsitektur Psikologi dan Masyarakat Seri Diktat Kuliah, Depok: Penerbit Gunadarma
  • Fausiah. F, Widury. J,(2005),  Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Posted in Uncategorized | Leave a comment

Privasi

Pada postingan sebelumnya telah dijelaskan tentang personal dan territorial. Sebenarnya kedua hal tersebut adalah bagian dari privasi. Atau Altman menyebutkan bahwa kedua hal tersebut adalah sebagian cara untuk mengatur seuatu mekanisme perilaku.

Definisi Privasi

Menurut Altman (dalam Prabowo, 1998), mendefinisikan privasi  adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Sedangkan menurut Rapoport (dalam Prabowo, 1998) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan

Adapun menurut Altman (dalam Prabowo, 1998) fungsi dari privasi. Pertama, privasi adalah pengaturan dan pengontrol interaksi interpersonal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain.  Fungsi privasi kedua adalah merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain. Fungsi ketiga privasi adalah memperjelas identitas diri

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Privasi

Adapun menurut Prabowo (1998) factor-faktor yang dapat mempengaruhi privasi antara lain:

1.      Faktor Personal

Marshall (dalam Prabowo, 1998) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa orang yang banyak menghabiskan waktunya di perkotaan akan lebih memilih keadaan anonym dan intimacy.

2.      Faktor Situasional

Menurut Gifford (dalam Prabowo, 1998) beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan  mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyendiri.

3.      Faktor Budaya

Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapat privasi. Gifford (dalam Prabowo, 1998)

Pengaruh Privasi terhadap Perilaku

Sepeti layaknya manusia pada umumnya, saat privasi kita terganggu maka secara langsung akan menimbulkan rasa tidak menyenangkan pada diri. Menurut Westin (dalam Prabowo , 1998) dengan privasi kita juga dapat melakukan evaluasi diri dan membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri (personal autonomy). Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.

Privasi dalam Konteks Budaya

Faktor budaya berkaitan dengan erat dengan perbedaan tentang privasi ditiap kebudayaan yang ada. Misalnya saja orang Arab menginginkan tinggal di dalam rumah yang memiliki dinding tinggi dan padat yang mengelilingi rumah mereka. Gifford (dalam Prabowo, 1998). Masih menurut penelitian Gifford, di suatu desa yang terletak di Bagian Selatan India, justru orang-orang tersebut tidak merasa betah bila terpisah dengan tetangganya.

 

Sumber:

  • Prabowo. H, (1998). Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat Seri Diktat Kuliah, Depok: Penerbit Gunadarma.
Posted in Uncategorized | Leave a comment

Teritorialitas

Definisi

Menurut Holahan (dalam Iskandar, 1990), menyatakan bahwa territorial adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilik atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain.

Lalu jika ada yang bertanya apa perbedaan antara terotorial dengan ruang personal? Maka jawabannya merujuk pada pendapat Sommer dan de War (1963) bahwa territorial bersifat menetap sehingga tak bisa berubah, sedangkan jika ruang personal akan terus kita bawa kemanapun kita pergi.

Elemen-elemen Teritorialitas

Ada beberapa ahli yang mengemukakan tentang elemen-elemen territorial diantara para ahli tersebut adalah:

1.      Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasi 3 kumpulan tingkat spasial yang slaing terkait satu sama lain:

a.       Personal space, yang telah banyak dibahas di muka.

b.      Home Base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.

c.       Home Range, seting-seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang.

2.      Sedangkan menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari territorial, yaitu

a)      Kepemilikan atau hak dari suatu tempat

b)      Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu

c)      Hak untuk mepertahankan diri dari gangguan luar

d)     Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasaan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.

 

Ruang Personal dan Perbedaan Budaya

Menurut penelitian oleh Smith (dalam Gifford, 1987) dan Edney and Jordan Edney (dalam Gifford, 1987). Penelitian ini meneliti tentang orang dengan kewarganegaraan Perancis, Jerman, dan Amerika. Terbukti bahwa Warga Jerman memiliki sifat territorial paling besar dari ketiga kewarganegaraan lainnya. Dalam penggunaan pantai. Mereka sering memakai penghalang benteng pasir yang meruapakan tanda bahwa pantai disediakan untuk kelompok tertentu. Walau secara bentuk ketiga nya hamper sama, namun Jerman memiliki penuntutan territorial [aling besar diantara yang lainnya.

Sumber:

a)      Prabowo. H, (1998), Arsitektur Psikologi dan Masyarakat Seri Diktat Kuliah, Depok: Penerbit Gunadarma

b)      http://www.elearning.gunadarma.ac.id/…/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf

 

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Personal Space (Ruang Personal)

Definisi

Istilah personal space pertama kali digunakan oleh katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi dan arsitektur (Yusuf, 1991).

Sedangkan Goofman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah disekitar individu dimana dengan memasuki daerah orang lain, menyebabkan orang lain tersebut merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.

Edward T Hall membagi 4 zona spasial dalam interaksi social, yang terdiri dari: jarak intim, jarak personal, jarak social, dan jarak public.

1.      Jarak Intim

Jarak dekat atau akrab. Jarak antara 0-18 inchi. Pada zona ini seseorang dapat merasakan kehadiran orang lain dengan jelas. Hal ini karena seseorang dengan jarak sedekat ini dapat merasakan panas tubuh, bau, suara sampai tarikan nafas. Sedangkan pada jarak 0-6 inchi atau sering disebut dengan fase dekat pada jarak intim, kontak fisik menjadi teramat penting. Misal saat seseorang sedang bercinta, atau bermain gulat atau sumo.

2.      Jarak Pribadi

Memiliki jarak antara 1,5 – 4 kaki. Dan masih dibagi lagi menjadi dua fase. Yaitu fase dekat (1,5 – 2,5 kaki) dan fase jauh (2,5 – 4 kaki). Fase dekat memiliki kesamaan dengan jarak intim. Seseorang masih bisa mencium bau, sentuhan dan lain-lain. Namun tidak terjadi sepertinya halnya saat seseorang bercinta atau bergulat. Sedangkan fase jauh, jaraknya memanjang dimana saat seseorang saling mengulurkan tangan baru terjadi sentuhan. Namun komunikasi masih dapat dilakukan, karena masih dapat mengamati beberapa hal dari lawan bicara, seperti warna rambut, mimic muka, ekspresi dan lain sebagainya

3.      Jarak social

Memiliki jarak 4 – 25 kaki dan merupakan jarak yang masih memungkinkan untuk melakukan kontak social maupun hubungan bisnis. Keras dan nyaring nya suara menjadi bagian yang penting dan dengan mudah dapat dideteksi, namun hal-hal seperti fase sebelumnya menjadi kurang penting.

4.      Zona public

Berjarak 12 – 25 kaki. Jarak ini biasa terdapat dalam pembicaraan-pembicaraan formal. Seperti seminar, pidato dan lain sebagainya.

Ruang Personal dan Perbedaan Budaya

Sama halnya dengan kesesakan. Ruang personal juga memiliki perbedaan ditiap budaya dalam negara-negara yang ada di dunia. Seperti orang Jerman yang memiliki sensitifitas terhadap gangguan. Sedangkan orang-orang Inggris adalah orang yang pribadi atau private. Penelitian juga menemukan bahwa orang Arab memiliki jarak interpersonal lebih dekat disbanding dengan orang-orang Amerika yang memiliki jarak interpersonal yang lebih jauh lagi.

 

Sumber:

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Kesesakan

A. Pengertian Kesesakan

Kepadatan memiliki perbedaan dengan kesesakan, walaupun masih belum jelas benar dimana letak perbedaannya. Bahkan banyak dari masyarakat awam yang mendefinisakan antara kepadatan sama dengan kesesakan. Walaupun mungkin kesesakan memiliki level yang lebih tinggi dibanding dengan kepadatan.

Menurut Altman (1975) kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Kepadatan yang tinggi dapat menimbulkan lesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

Namun Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa suatu keadaan dimana kepadatan bisa dikatakan sebagai kesesakan bila memiliki empat factor:

1.      Karakteristik seting fisik

2.      Karakteristik seting social

3.      Karakteristik personal

4.      Kemampuan beradaptasi

Adapun pendapat lain yang dating dari Kapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengungkapkan bahwa kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang tidak dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia. Namun kembali lagi, bahwa kesesakan adalah suatu persepsi. Sehingga kesesakan memiliki makna yang berbeda ditiap individu.

B. Teori- Teori Kesesakan

Teori-Teori kesesakan secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian: Kendala perilaku, teori ekologi, dan beban stimulus.

1. Teori Beban Stimulus

Teori ini muncul karena pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk saat stimulus yang masuk kedalam diri individu melebihi kapasitas nya, sehingga timbul suatu kegagalan pemrosesan stimulus atau informasi dari lingkungannya. Berlebihnya informasi yang masuk dapat terjadi karena beberapa aspek, yaitu:

  • Kondisi fisik yang tidak menyenangkan
  • Jarak fisik antar individu terlalu dekat
  • Suatu percakapan yang tidak diinginkan
  • Terlalu banyak teman dalam berinteraksi
  • Interaksi yang ada terlalu lama.

Namun layaknya proses kognitif, individu juga melakukan suatu penyaringan terhadap semua informasi yang masuk, sehingga informasi yang masuk ke diri individu hanya lah yang menurut individu tersebut penting atau essensial, sedangkan yang lainnya akan menghilang.

2. Teori Ekologi

Menurut Wicker (1976) mengemukakan teorinya tentang meaning. Menurutnya kesesakan muncul karena factor lingkungan dimana hal tersebut itu terjadi.

Analisa terhadap seting meliputi

1.      Maintanence Minimum, Yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung.

2.      Capacity, jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh suatu lingkungan

3.      Aplicant, jumlah penghuni yang mengambil bagian-bagian dalam suatu lingkungan

Ketiga analisa tersebut memiliki suatu hubunga yang saling berkesinambungan, seperti saat applicant lebih sedikit dari pada maintanence minimum, berarti jumlah warga yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu aktifitas tidak mencukupi

3. Teori Kendala Perilaku

Teori ini berpendapat bahwa suatu keadaan dapat dikatakan sesak apabila suatu kondisi yang membatasi aktifitas individu tersebut dalam suatu seting. Menurut teori ini, bila timbul gangguan terhadap kebebasan berperilaku, maka akan menimbulkan semacam penolakan psikologis dari dalam diri individu tersebut. Kesesakan timbul karena adanya usaha-usaha yang terlalu banyak, yang membutuhkan energy fisik maupun psikis untuk mengatur tingkat enteraksi yang diinginkan. Energi fisik dipakai untuk menjaga ruang personal yang dimiliki, selain itu juga untuk mempertahankan teritori dari gangguan orang lain. Energy fisiologis timbul ketika individu berusaha mengatur interaksi dengan orang lain.

 

C. Faktor Pengaruh Kesesakan

1. Faktor Personal

Terdiri dari Kontrol pribadi atau locus of control, yang hal ini berkaitan dengan tingginya kepadatan yang dapat memberikan kontribusi terhadap munculnya kesesakan. Sedangakn budaya memiliki kaitan tentang persepsi masyarakat tentang kesesakan itu sendiri.  Dan yang terakhir dalam factor personal adalah jenis kelamin, ditemukan penelitian bahwa pria memiliki pengalaman kesesakan lebih disbanding wanita karena lebih menunjukan sikap reaktif terhadap kondisi tersebut.

2. Faktor Sosial

Faktor-faktor ini berkaitan dengan kehadiran dan perilaku orang lain, formasi koalisi, kualitas hubungan yang berkaitan dengan bagaimana orang lain memiliki suatu cara berpikir yang sama sehingga kesesakan dapat berkurang, dan informasi yang tersedia, dalam artian kesiapan individu tersebut terhadap kesesakan yang akan terjadi. Jika individu tersebut memiliki informasi sebelumnya tentang kepadatan yang terjadi maka ia akan merasa lebihsiap disbanding dengan individu yang tidak memiliki info sama sekali.

 

D. Pengaruh Kesesakan terhadap Perilaku

  • Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973)
  • Aktifitas seseorang akan terganggu oleh aktifitas orang lain.
  • Disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)
  • Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982)

Sumber:

 

 

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Kepadatan

A. Pengertian Kepadatan

Kepadatan merupakan masalah bagi setiap negara di dunia terutama negara-negara berkembang umumnya, dan Indonesia khususnya.  Pertambahan penduduk secara besar-besaran mengakibatkan berbagai masalah. Seperti kurangnya lapangan pekerjaan yang mengakibatkan peningkatan kejahatan. Selain itu kepadatan menurut sebuah survey turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan agresifitas.

Kepadatan memiliki arti hasil bagi jumlah objek terhadap luas daerah. Dengan demikian satuan yang digunakan adalah satuan/luas daerah.  Sedangkan ada yang berpendapat bahwa kepadatan adalah jumlah rata-rata penduduk yang mendiami suatu wilayah administrative atau politis tertentu, biasanya dinyatakan dalam jiwa/Km2. Adapun rumus untuk menghitung kepadatan penduduk suatu wilayah:

Kepadatan penduduk = jumlah penduduk (jiwa) / Luas wilayah (km2)

B. Kategori-Kategori Kepadatan

Adapun kepadatan memiliki kategori-kategori. Manurut Altman (1975), variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Dan variasinya adalah sebagai berikut:

1.      Jumlah Individu dalam sebuah kota: Semakin tinggi angka kelahiran dibanding kematian,  serta angka penduduk yang masuk dari pada penduduk yang keluar, dapat disimpulkan bahwa kota tersebut padat.

2.      Jumlah individu dalam jumlah sensus

3.      Jumlah individu pada unit tempat tinggal: artinya semakin banyak anggota keluarga dalam satu rumah di suatu daerah. Semakin padat pula daerah tersebut

4.      Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal

5.      Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain – lain.

Sedangkan Hollahan membagi kategori kepadatan menjadi dua:

1.      Kepadatan spasial: Yaitu saat suatu bangunan mengalamii penyempitan walaupun jumlah penduduknya atau penghuninya tetap. Sehingga kepadatan meningkat sejalan dengan menurunnya besar ruangan

2.      Kepadatan social: Yaitu diamana suatu keadaan yang tidak ada penyempitan ruangan, namun penduduk atau penghuninya bertambah dan tidak diikuti dengan pembesaran ruangan

C. Akibat-Akibat Kepadatan Tinggi

Kepadatan juga memberikan kontribusi besar terhadap psikis seseorang yang menempati suatu daerah yang padat.  Banyaknya penelitian yang menyebutkan bahwa seseorang memiliki tingkat stress dan kekecwaan tinggi pada ruangan yang ditempati lebih dari kapasitas ruangan tersebut dari pada ruang yang ditempati sesuai dengan kapasitas ruangan tersebut. Akibatnya dampak fisik yang diterima inividu adalah peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit lainnya. (Heimstra dan McFarling, 1978).

D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya

Namun berhubungan dengan kepadatan adalah suatu persepsi, maka makna dari kepadatan tersebut juga bervariasi. Pengertian kepadatan juga tergantung dimana individu tersebut tinggal. Ternyata di negara dengan jumlah penduduk tinggi seperti di China. Kepadatan bisa mereka terima dengan baik tanpa adanya hal-hal negative seperti yang telah dibahas sebelumnya. Ajaran mereka tentang merawat 5 generasi dalam satu rumah dapat mereka atasi dengan baik tanpa mengalami kesesakan. Jadi perasaan individu tentang kepadatan memiliki penerimaan berbeda ditiap orangnya. Tergantung dari beberapa factor, termasuk kebudayaan didalamnya.

 

 

Sumber:

 

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Ambient Condition dan Architectural Features

Sudah menjadi hal yang umum bahwa keadaan lingkungan mempengaruhi kinerja maupun mood pada seseorang. Dalam psikologi lingkungan hal tersebut dibagi dua: ambient condition dan architectural features.

A. Ambient Condition

Ambient condition menjelaskan tentang kualitas fisik pada suatu ruangan. Hal-hal tersebut berkaitan dengan beberapa hal, antara lain pencahayaan, kebisingan, polusi, temperature, warna, dan kualitas udara. Para tokoh seperti Rahardji (1987) dan Ancok (1988) membagi kualitas fisik menjadi tiga. Kebisingan, temperature dan kualitas udara. Mereka berpendapat bahwa gangguan-gangguan tersebut memberikan kontribusi terhadap penyakit dan menurunnya konsentrasi belajar pada anak.

Kebisingan

Sarwono membagi kebisingan ini menjadi tiga jenis: yaitu volume, perkiraan, dan pengendalian.

Volume: hal ini berkaitan dengan keras maupun lembutnya suara. Dikatakan bahwa suara yang semakin keras akan dirasakan mengganggu. Contohnya saja jika ada pembuatan jalan dengan mesin-mesin beratnya di dekat kantor atau sekolah. Pastinya hal tersebut akan mengganggu kinerja maupun konsentrasi karyawan atau siswa dengan suara-suara yang dihasilkan.

Sedangkan perkiraan berkaitan dnegan keteraturan sehingga individu dalam suatu ruangan dapat memprediksi kapan datangnya suara-suara tersebut. Hal ini memperkecil gangguan jika dibandingkan dengan suara yang tidak teratur dan sulit untuk diprediksi kedatangannya.

Pengendalian berkaitan dengan perkiraan seseorang. Seperti menyalakan music dengan suara yang keras. Bagi orang yang menyalakan jelas ini bukanlah gangguan. Namun bagi orang yang berada disekitarnya belum tentu hal tersebut tidaklah mengganggu.

Menurut Holahan (1982) jika kebisingan yang dibiarkan saja kita terima dalam intensitas tinggi dan dalam jangka waktu yang panjang ternyata dapat menjadi penyebab kehilangan pendengaran yang berarti.

Suhu dan Polusi Udara

Ini adalah hal berikutnya yang termasuk dalam gangguan kualitas fisik. Sudah merupakan hal kita ketahui bersama bahwa konsentrasi dapat menurun saat suhu di lingkungan kerja maupun lingkungan belajar meningkat. Sedangkan polusi udara selain mengganggu kesehatan juga menganggu kenyamanan individu, apalagi jika individu tersebut dituntut untuk duduk diam dan pekerjaannya membutuhkan konsentrasi lebih.

Pernyataan ini didukung oleh pendapat dari Holahan (1982) bahwa suhu dan polusi udara dapat menyebabkan sedikitnya dua efek kesehatan dan perilaku. Penelitian menunjukan bahwa tingkat mortalitas meningkat saat musim panas tiba.

Pencahayaan dan Warna

Pencahayaan dan warna secara langsung dapat mempengaruhi kinerja visual seseorang. Hal ini didukung oleh teori dari Corwin Bennet (dalam Holahan, 1981) bahwa penerangan yang lebih kuat ternyata mempengaruhi kinerja visual kita menjadi semakin cepat dan teliti. Namun cahaya yang berlebih juga dapat menganggu. Hal ini dapat dibuktikan dengan respon tubuh (menutup mata) saat melihat cahaya yang terang.

Sedangkan warna juga memiliki kesamaan dengan cahaya. Jika proporsi nya pas dengan fungsi dari ruangan akan menimbulkan rasa nyaman. Namun jika tidak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman pada individu di dalam ruangan tersebut. Warna yang terlalu terang dapat menyebabkan kelelahan pada mata.

Warna menurut Heimstra dan Mc Farling, warna dibagi menjadi 3: kecerahan, corak warna, kejenuhan. Kecerahan berhubungan dengan intensitas warna, corak berhubungan dnegan warna yang melekat pada objek, sedangkan kejenuhan berkaitan dengan percampuran warna

Warna menurut WHO juga memiliki efek-efek psikologis tersendiri terhadap individu. Contohnya saja warna biru yang memiliki efek menenangkan, hijau yang disebut memiliki efek yang sangat sejuk begitupun warna-warna lain yang memiliki efek-efeknya masing-masing.

B. Architectural Features

Dalam Architectural yang lebih dibahas adalah tata perabot, dan hal-hal lain yang telah ada pada suatu ruangan seperti dinding dan lainnyadalam suatu ruangan.

Perabot

Perabot juga turut memberi kontribusi bagaimana seseorang dapat mempresepsi suatu ruangan. Asumsinya, bagaimana kita dapat bekerja di ruangan yang memiliki perabot dengan tata letak acak-acakan dan berkesan sembarangan. Hal tersebut secara langsung mengganggu penglihatan yang berpengaruh pada mood kerja individu. Namun ada beberapa konteks yang tidak dapat dipindahkan seperti latak dinding maupun pintu.

 

Sumber Referensi:

Posted in Uncategorized | Leave a comment

PENDEKATAN TEORI DAN METODE PENELITIAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN

Seperti yang telah dijelaskan pada postingan sebelumnya, bahwa pendekatan teori Psikologi Lingkungan sangatlah luas. Psikologi Lingkungan dapat dikaji dengan teori baik dalam teori psikologi sendiri maupun cabang ilmu diluar psikologi. Contohnya saja seperti Contoh yang ada pada postingan sebelumnya tentang masyarakat nomaden dan masyarakat menetap. Hal tersebut melihat bahwa psikologi lingkungan juga memakai dasar teori dari ilmu Geografi. Adapun cabang ilmu psikologi itu sendiri, seperti teori Gestalt. Sekilas tentang Psikologi Gestalt, bahwa teori ini melihat objek-objek, manusia, dan seting-seting dipersepsi secara keseluruhan. Sedangkan sumbangannya terhadap Psikologi Lingkungan dapat dilihat antara lain pada kognisi lingkungan,misal untuk menjelaskan persepsi, berpikir, dan pemrosesan informasi lingkungan.

1. TEORI PSIKOLOGI LINGKUNGAN

a.       Arousal Theory (Teori Arousal)

Arousal memiliki arti harfiah yang berarti pembangkit. Pembangkit disini maknanya adalah gairah atau emosi individu untuk mengerjakan sesuatu. Misalnya saja saat kita kuliah pada mata pelajaran yang tidak menyenangkan, atau materi yang tidak kita suka. Maka secara otomatis kita akan mengantuk atau merasa lelah lebih cepat. Hal itu dapat diartikan bahwa kita tidak memiliki arousal untuk mata kuliah tersebut. Sedangkan kaitannya dengan Psikologi Lingkungan adalah, saat arousal seseorang itu rendah maka kinerja dari orang tersebut menurun, dan sebaliknya saat makin tinggi tingkat arousal seseorang maka semakin tinggi pula konerja nya.

b.      Teori Beban Lingkungan

Asumsi dari teori ini adalah, bahwa manusia memiliki pemrosesan informasi yang terbatas. Menurut Cohen (Fisher, 1985; dalam Veitch & Arkkelin, 1995), asumsi tersebut adlaah: 1. Bahwa manusia memiliki kapasitas pemrosesan informasi yang terbatas. 2. Jumlah Atensi yang diberikan orang tidak konstan, namun lebih kepada kesesuaian dengan kebutuhan. 3. Ketika informasi yang masuk berlebih, maka perhatian tidak akan bekerja secara maksimal. 4. Stimulus yang masuk akan dipantau, jika stimulus tersebut memiliki makna dan diperhatikan maka aka nada pemrosesan lebih jauh, namun jika tidak akan langsung dibuang atau tidak ada pemrosesan lebih lanjut.

Lalu jika informasi yang masuk lebih besar dari kapasitas maka akan terjadi yang dinamakan dengan pemusatan perhatian, contohnya saja saat kita sedang menjalani ujian tengah semester, kita akan lebih focus mengerjakan soal ujian dan lebih cenderung mengabaikan keadaan sekitar sampai soal yang kita kerjakan selesai.

Namun jika sebaliknya, saat stimulus yang datang lebih kecil dari kapasitas dapat terjadi kebosanan pada diri individu. Karena kurangnya stimulus dalam lingkungan juga dapat dikaitkan dengan kemonoton-an informasi yang dating ke diri individu.

 

c.       Teori Hambatan Perilaku

Asumsi dari teori ini adalah stimulasi yang berlebihan menyebabkan terjadinya penghambatan dalam memproses informasi. Sehingga berakibat hilangnya control dari individu terhadap situasi.

Menurut Brehm dan Brehm (dalam Veitch & Arkkelin, 1995), awal saat kita merasakan hilang kendali atau control terhadap lingkungan, maka mula-mula kita akan merasa tak nyaman dan berusaha untuk menekankan kembali fungsi kendali kita. Hal ini disebut dengan fenomena psychological reactance.

 

d.      Teori Tingkat Adaptasi

Teori ini memiliki kemiripan dengan teori beban lingkungan, yang dimana stimulus yang tinggi maupun rendah memiliki dampak negative bagi perilaku individu. Namun nilai lain dari teori ini adalah pengenalan tingkat adaptasi pada individu, misalnya tingkat arousal atau adaptasi individu terbiasa dengan keadaan lingkungan atau tingkat pengharapan suatu lingkungan tertentu.

Menurut Wohwill (dalam Fisher, 1984) membagi 3 dimensi hubungan perilaku lingkungan: 1. Intensitas, yang berhubungan dengan kesesakan atau justru kelenggangan yang dapat mempengaruhi psikologis individu. 2. Keanekaragaman, berkaitan dengan banyaknya informasi yang masuk atau justru sedkitnya informasi yang masuk dan tak sebanding dengan kapasitas pemrosesan informasi. Jika berlebih maka dapat terjadi yang dinamakan overload dan jika terlalu sedikit maka dapat terjadi kemonotonan. 3. Keterpolaan, berkaitan dengan keteraturan suatu pola sehingga dapat atau tidak dapatnya diprediksi oleh individu. Semakin teratur suatu pola semakin mudah dikenali oleh individu, dan begitupun sebaliknya.

 

e.       Teori Stress Lingkungan

Teori in lebih menekankan pada peran fisiologi, kognisi maupun emosi dalam usaha manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Stress dapat terjadi saat respon stress atau beban melebihi kapasitas tingkat optimal. Hal yang dapat membuat individu menjadi stress disebut dengan stressor. Namun individu memiliki hal yang disebut dengan coping. Jika sumber-sumber coping tersebut habis maka dapat terjadi exhausted atau yang biasa kita sebut dengan kelelahan (Selye dalam Veitch & Arkkelin, 1995).

 

 

2. METODE PENELITIAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN

a.       Studi Korelasi

Seorang peneliti dapat menggunakan variasi dari metode korelasi, jika seorang peneliti berminat untuk memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi (Veitch & Arkkelin, 1995). Studi ini menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan atau peristiwa yang terjadi di alam nyata tanpa dipengaruhi oleh pengumpulan data.

Namun sesempurna apapun suatu studi juga memiliki kelemahan. Kelemahan dari studi kasus adalah lemahnya validitas internal, berkebalikan dengan studi laboratorium yang memiliki tingkat validitas internal yang lebih tinggi, namun memliki validitas eksternal yang lebih rendah jika dibandingkan dengan studi korelasi.

 

b.      Eksperiment Laboratorium

Jika peneliti tertarik untuk memastikan tingkat validitas internal yang tinggi, maka studi inilah yang sangat tepat (Veitch & Arkkelin, 1995). Metode ini member kebebasan kepada peneliti untuk melakuakn manipulasi secara sistematik dengan tujuan mengurangi variable-variabel yang mengganggu. Metode ini mengambil subjeknya secara random, yang berarti semua subjek memiliki kesempatan yang sama dalam semua keadaan eksperimen. Namun kelemahan dari metode ini salah satunya adalah hasil yang diperoleh di laboratorium belum pasti dapat diterpkan di luar laboratorium.

 

c.       Eksperimen Lapangan

Metode ini adalah metode penengah antara Korekasi dengan Eksperiment Laboratorium. Asumsinya adalah jika peneliti ingin menyeimbangkan validitas internal yang didapat dalam eksperiment laboratorium dengan validitas eksternal yang didapat dari studi korelasi. Dalam metode ini peneliti tetap melakukan manipulasi sitematis, hanya bedanya peneliti juga harus member perhatian pada variable eksternal dalam suatu seting tertentu

 

d.      Teknik-Teknik Pengukuran

Beberapa disajikan beberapa contoh tekhnik pengukuran dengan keunggulannya masing-masing, antara lain mudah dalam scoring, administrasi maupun dalam proses pembuatannya. Antara lain:

A Self-report

B Kuisioner

C Wawancara atau Interview

D Skala Penilaian

Sumber Referensi:

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Pengantar Psikologi Lingkungan

A.    LATAR BELAKANG SEJARAH PSIKOLOGI LINGKUNGAN

 

Psikologi bagi kita mahasiswa psikologi bukanlah ilmu khusus yang hanya mempelajari tentang masalah kejiwaan seseorang lagi. Namun psikologi meruapakan ilmu yang mencabangkan ilmu-ilmu lain yang sejenis namun memiliki perbedaan sudut pandang dalam suatu pembahasan. Manusia lahir dengan membawa sifat keturunan dari induknya, namun akan lebih bijaksana jika kita juga dapat memsukan unsur lingkungan  yang juga merupakan pembentuk dari karakteristik manusia. Asumsi inilah yang menjadi asumsi psikologi lingkungan.

Sebagai contoh saja, para ahli menghubungkan tentang perbedaan antara pola asuh masyarakat yang menetap dengan masyarakat yang nomaden (berpindah-pindah sesuai dengan dimana sumber makanan dan air berada).  Barry, Child dan Bacon (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) memberikan pendapat bahwa manusia yang lahir dan besar dalam masyarakat yang tinggal menetap diajarkan atau ditanamkan rasa tanggung jawab, ketaatan dan patuh, mungkin karena sebagian besar masyarakat ini sudah lebih modern dibanding dengan masyarakat nomaden sehingga sumber makanan mereka di dapat secara bertanam atau berternak, sehingga dibutuhkan tanggung jawab untuk menjaga agar tanaman dan ternak dapat diambil hasilnya pada waktu yang telah ditentukan.

Sedangkan masyarakat nomaden akan mempersiapkan masyarakatnya untuk mandiri dan berakal, sehingga mereka dapat bertahan dalam rentan waktu pencarian “rumah” baru dengan keadaan alam yang tidak menentu dan sulit untuk diprediksi.

Contoh-contoh tersebut dapat memberi kita gambaran tentang pentingnya setting ekologi dan pola sosialisasi yang dimana keduanya secara umum masuk kedalam setting lingkungan. Dan bagaimana lingkungan tersebut dapat mempengaruhui sikap manusia.

 

B.     DEFINISI PSIKOLOGI LINGKUNGAN

Dari sejarah singkat diatas dapat kita peroleh gambaran tentang apa itu psikolgi lingkungan, namun akan lebih baik jika kita melihat definisi psikologi lingkungan dari para tokoh yang telah mendefisikannya.

Gifford (1987) mendefinisikan psikologi lingkungan sebagai studi dari transaksi di antara individu dengan setting fisiknya. Dalam transaksi tersebut individu mengubah lingkungan dan sebaliknya pengalaman dan perilaku individu diubah oleh lingkungan.

Hardjowirogo, seorang antropolog, menulis bahwa tidak ada jaminan akan keefektifan mawas diri. Ungkapan itu telah surut menjadi sekadar penghias buah bibir. Perubahan zaman telah membawa pula fungsi mawas diri menjadi pengucapan belaka.

Heimstra dan Mc Farling (dalam Prawitasari,1989) menyatakan bahwa psikologi lingkungan adalah disiplin yang memperhatikan dan memperlajari hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungan fisik. Dari penjambaran diatas dapat kita simpulkan bahwa  psikologi lingkungan adalah cabang ilmu psikologi yang mempelajari hubungan antara pengalaman manusia dengan setting social dan tempat dimana ia tinggal.

C.     LINGKUP PSIKOLOGI LINGKUNGAN

Menurut Proshanky (1947) bahwa psikologi lingkungan member perhatian kepada sifat manusia, tempat serta perilaku dan pengalaman-pengalaman manusia dalam hubungannya dengan setting fisik. Setting fisik disini adalah setting lingkungan dimana manusia itu tinggal, termasuk didalamnya seperti: rancangan (desain), organisasi dan pemaknaan, atau lebih spesifik menyangkut tentang  ruang-ruang, perumahan, maupun apartemen

 

D.    AMBIENT CONDITION DAN ARCHITECTURAL FEATURES

Wrighstman dan Deaux 1981 membedakan dua bentuk kualitas lingkungan fisik:

1.      Ambient Condition: yaitu segala sesuatu yang berhubunga dengan pencahayaan, filtrasi ruangan,  suara, warna dari ruangan itu sendri, dan suhu.

2.      Architectural Features: Yaitu segala sesuatu yang bersifat sudah ada atau trak bisa diubah, contohnya seperti adanya tembok dan lantai dalam suatu ruangan dan lain sebagainya.

 

Sumber Referensi:

1.      Unknown, Pengantar Psikologi Lingkungan, diakses tanggal 15-Februari 2011/ pukul: 15.12, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/pengantar-psikologi-lingkungan/

2.      Unknown, Pendekatan Teori dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan, diakses tanggal 15-Februari 2011/ pukul 15.12, http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html

3.      Unknown, Bab 2 Pendekatan Teori dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan, diakses tanggal 15-Februari 2011/ pukul 15.12, http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab2-pendekatan_teori_dan_metode_penelitian_psikologi_lingkungan.pdf

 

 

Posted in Uncategorized | 1 Comment

Kohesivitas dan Produktivitas

Sebelum masuk lebih jauh mari kita review dulu tentang postingan kohesivitas sebelumnya. Bahwa kohesivitas merupakan kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal di dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok (Collins dan Raven , 1964).

Lalu apa hubungan kohesivitas dengan produktivitas?? Untuk menjawab pertanyaan tersebut apakah kalian mengingat hal-hal yang dapat meningktkan kohesivitas dalam postingan berikutnya? Tepatnya dalam point kedua tentang reward. Sebetulnya penjelasan pada postingan ini hanya mengulas point tersebut lebih dalam.

Reward dapat membuat kohesivitas kelompok dan kelanjutan kohesivitas tersebut dapat meningkatkan kinerja pada individu, mengapa? Karena saat individu terkohesivitas atau telah terikat ikatan batin dengan sesuatu (dalam hal ini kelompok atau anggota kelompok lainnya) maka ia ingin tetap bertemu . Bayangkan saja jika kalian tidak bertemu kekasih padahal kalian dapat bertemu dengannya. Nah masalah ini pun sama, hanya dalam hal ini individu terikat dengan sesuatu yang berjumlah lebih besar , sehingga saat individu tersebut terkohesivitas dengan anggota maupun kelompoknya, maka secara langsung dapat meningkatkan semangat (jadi jarang bolos atau malas-malasan) sehingga kinerja pun meningkat. Itulah alas an mengapa kohesivitas teramat sangat diperlukan dalam pencapaian tujuan maupun saat berdirinya kelompok itu sendiri.

Posted in Uncategorized | Leave a comment